News

Pertumbuhan pembiayaan otomotif yang melandai sejak 2012 membuat lini usaha baru, salah satunya pembiayaan ke sektor maritime, digadang-gadang menjadi penyelamat. Pembiayaan ke sektor ini diharapkan mampu mengimbangi penyaluran kredit kendaraan bermotor dalam 5 tahun ke depan.

Tahun lalu, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mencatat total penyaluran pembiayaan industry mencapai Rp 435 triliun. Dari jumlah itu, penyaluran terbesar masih disumbang sektor otomotif sebesar 66%, lini usaha sewa guna usaha 23%, sedangkan 11% dari lini usaha lain.

Meski demikian, sejak 3 tahun lalu penjualan kendaraan bermotor justru menyusut. Asosiasi Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat penurunan penjualan kendaraan baru kali itu mencapai 1 juta unit. Bukannya membaik, sejak saat itu penjualan kendaraan justru tumbuh melandai setiap tahun. Tahun lalu saja, penjualan sepeda motor baru dalam negeri hanya tumbuh tipis 1,5% menjadi 7,86 juta unit dari sebelumnya 7,4 juta unit. Penjualan mobil baru pada tahun lalu juga menurun menjadi 1,21 juta unit dari sebelumnya 1,22 juta unit di tahun sebelumnya.

 

Di sisi lain, wilayah Indonesia yang dua pertiganya merupakan laut, ditambah komitmen pemerintah untuk memberantas illegal, unreported and unregulated fishing membuka peluang besar bagi perusahaan pembiayaan guna mendiversifikasikan lini usahanya ke sektor maritim. Para stakeholder pun bergerak cepat untuk memaksimalkan peluang tersebut. Beberapa dari mereka berharap pembangunan sektor maritim dapat menjadi napas baru perusahaan pembiayaan, apalagi di saat sektor otomotif yang terus tumbuh landai.

Saat ini, Kelompok Kerja (Pokja) Kemaritiman yang dibentuk untuk mensurvei kebutuhan pembiayaan maritim telah mendata kebutuhan calon debitur di tujuh tempat, yakni Klungkung, Yogyakarta, Batam, Pelabuhna Ratu, Makassar, Kendari dan Sibolga. Ketua Pokja Maritim & Sekjen Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Efrinal Sinaga menyatakan ada limasubsektor Utama di bidang kelautan dan perikanan yang prospektif untuk didanai perusahaan pembiayaan. Menurutnya, saat ini sudah ada pengajuan 50 proposal terkait pembiayaan di subsector itu kendati eksekusi belum dilakukan.

Subsektor pertama yakni kapal tangkap dan pengangkut berukuran 50 gross ton (GT), 30 GT, 60 GT dan 80 GT. Berdasarkan data yang ada, kredit kepemilikan kapal justru paling banyak dibutuhkan. Efrinal menyatakan pembangunan solar packaged dialer nelayan (SPDN) atau sistem pengisian bahan bakar nelayan di darat dan laut menjadi kebutuhan kedau terbanyak dari hasil survey yang dilakukan. Calon debitur juga membutuhkan armada angkut yang disertai denga pendingin atau cold storage guna menjamin proses distrubusi hasil perikanan tetap segar. Selanjutnya, katanya, modal kerja koperasi atau gabungan kelompok nelayan juga menajdi prospek menarik pembiayaan.

Efrinal mengatakan pengadaan investasi budidaya termasuk unit pengolahan ikan juga akan menjadi sasaran pembiayaan. Masalahnya, katanya, beberapa calon debitur, yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan kerap ditolak bank saat mengajukan pinjaman karena dinilai unbankable.

“Karena dia unbankable namun feasible, kami coba sosialisasikan agar akses ke nelayanini jadi terbuka dengan skema pembiayaan, sehingga pelan-pelan pembiayaan bisa menggantikan ketergantungan mereka terhadap pendanaan dari rentenir atau tengkulak,” katanya. Dia mengatakan pihaknya sedang merumuskan term of condition investasi dan modal kerja pembiayaan sampai ke struktur harga bersama konsorsium. Pada akhir Mei 2015 ketentuan tersebut ditargetkan sudah selesai sehingga eksekusi bisa dilakukan paling lambat pada akhir semester I/2015.

Efrinal menyatakan pembiayaan sektor maritime saat ini memang baru difokuskan untuk kelautan dan perikanan karena diketahui bermasalah dalam pendanaan. Namun, dia mengatakan ke depan juga akan diterapkan untuk sektor bahari atau pariwisata. Adapun sektor maritim lainnya seperti perhubungan laut dan energy dinilai menjadi domain perbankan karena diyakini investor yang masuk bersifa bankable.

TARGET PEMBIAYAAN

Angin segar eksekusi pembiayaan sektor ini makin berhembus ketika pekan lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan minimal pembiayaan maritim dapat menembus Rp 500 miliar sampai akhir tahun ini. Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Syafril Fauzi menjelaskan, OJK telah mematok taget penyaluran pembiayaan tahun depan hingga Rp.2 triliun dengan harapan semakin banyak perusahaan multifinance yang akan bergabung membiayai maritim.

Berdasarkan data APPI, sudah ada 12 perusahana multifinance yang menyatakan minatnya menggarap sektor maritim sampai hari ini. Perusahaan tersebut antara lain PT Amanah Finance, PT Bosowa Multi Finance, PT BFI Finance, PT Indomobil Finance Indonesia, PT Federal International Finance, PT Prokar International Finance, PT Pro Mitra Finance, PT Sadira Finance, PT Dipo Star Finance, PT Mandala Tunas Finance, PT Hasjrat Multifinance, dan PT Sumitomo Misui Finance Leasing Indonesia.

Menurut Syafril, peluang bisnis untuk investor lokal di sektor hulu seperti alat tangkap dan kapal sangat prospektif sebagai imbas beleid Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang melakukan moratorium perizinan izin kapal tangkap eks asing dan pengetatan penggunaan alat tangkap cantrang. Direktur Keuangan BFI Finance Sudjono mengatakn pihaknya saat ini sedang memepertimbangkan untuk memperluas lini usaha ke sektor maritim, tetapi belum menentukan sikap.

Meski dinilai potensial, agaknya masih dibutuhkan stimulus awal yang menjamin lini usaha di sektor ini juga akan memberikan kontribusi yang besar untuk perusahaan pembiayaan. Pasalnya, perusahaan pembiayaan sudah cukup nyaman dengan paradigma ‘kedaratan’ sehingga mungkin masih butuh waktu dan bukti sukses untuk merambah ‘ke luar darat’.

 

Source : Bisnis Indonesia, Edisi : Rabu, 15 April 2015