Bisnis, TARAKAN – Kementerian Perhubungan mengemukakakn alas an tentang penerapan kewajiban pengaktifan system identifikasi otomatis (AIS) pada kapal kecil berukuran minimal 35 gross tonnage (GT), meskipun Organisasi Maritim Dunia (IMO) mewajibkan kapal mulai 300 GT. Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubugnan Basar Antonius mengatakan, kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di lapangan banyak melibatkan kapal-kapal kecil yang tidak termonitor. Sebagai contoh, pembuagnan limbah dari kapal di Selat Malaka berdampak ke perairan Indonesia.
Pemerintah, ujarnya, tidak khawatir kewajiban itu akan bertabrakan dengan aturan internasional. Menurut Basar, dunia justru senang ketika Indonesia menerapkan mandatory pengaktifan AIS untuk kapal-kapal kecil. Dia menjelaskan, saat Indonesia mengajukan proposal skema pemisahan alur (TSS) Selat Sunda dan Selat Lombok ke IMO, kendala untuk lolos sempat muncul pada Experts Working Group. Ini karena di kedua selat banyak melintas kapal-kapal nelayan yang masuk ke dalam Standart Kapal Nonkonvensi (NCVS), sehingga tidak diwajibkan mengaktifkan AIS.
Namun, pihaknya mengingatkan, kapal nelayan dapat dimonitor oleh kapal-kapal asin gyang besar apabila mereka memiliki alat identifikasi otomatis tersebut. “Tentunya keselamatan dan keamanan pelayaran lebih ditingkatkan, khususnya kapal nelayan kita yang sering ditabrak dan disenggol karena tidak punya sinyal lewat AIS Kelas B itu,” jelas Basar seusai kegiatan sosialisasi aturan pengaktifan AIS kepada pelayaran dan masyarakat maritime, Senin (22/7).
Pada 2000, IMO mulanya menyatakan pemasangan AIS wajib diterapkan pada kapal-kapal mulai dari 50.000 GT yang dibangun pada atau setelah 1 Juli 2002 dan pada kapal-kapal pelayaran internasional yang dibangun sebelum 1 Juli 2002. Amandemen pada 2002 kemudian menambahkan, kapal-kapal mulai dari 300 gT juga terkena kewajiban selambatnya saat survey pertama perlengkapan keselamatan setelah 1 Juli 2004 atau pada 31 Desember 2004.
Sumber : Bisnis Jakarta (Selasa, 23 Juli 2019)