Puncak dari kritik selama ini terhadap Tol Laut barangkali adalah penolakan Komisi V DPR terhadap kelanjutan program untuk mempersempit disparits harga bahan pokok di dalam negeri. Dasar kritik legislative yang muncul ke permukaan adalah ketidakyakinan mereka tentang apakah jenis komoditas yang diangkut ke daerah tujuan betul-betul bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat setempat? Selain itu, apakah mujarab menekan kesenjangan harga antara timur dan barat Indonesia? Apakah barang sampai ke konsumen akhir dengan harga yang sama dengan Jawa? Apakah perekonomian daerah tujuan bangkit, yang ditandai dengan kargo balik yang melimpah?

Kita mengetahui bahwa baran gpokok dan penting kadang masih dijual dengan harga mahal di daerah tujuan. Kekurangan pengawasan oleh pemerintah daerah membuat pedagang leluasa menjual barang degan margin tinggi sehingga penurunan disparitas harga belum merata di semua wilayah. Selain itu, konsolidasi barang belum kuat sehingga membuat muatan balik dari daerah tujuan masih rendah. Intinya, Program Tol Laut belum sepenuhnya efektif.

Namun, menyetop program ini tentu bukan ide yang elok karena harus diakui masih dibutuhkan masyarakat kepulauan. Diakui atau tidak, sulit dimungkiri program Tol Laut punya andil membantu masyarakat daerah menikmati penurunan harga dibandingkan dengan sebelum Tol Laut hadir. Ini bukan semata-mata soal subsidi. Bicara Tol Laut, bicara keadilan. Di belahan barat, penumpang kereta commuter line (KRL) Jabodetabek yang tidak jarang adalah orang kantoran, rapi dan wangi disuntik subsidi Rp 1,3 triliun per tahun. Di barat pula, APBN Rp 43 triliun per tahun rela dibelanjakan untuk meperbaiki jalan yang rusak akibat kelebihan dimensi dan muatan truk-truk logistic. Pada saat yang sama, jalan-jalan selebar 2 atau 3 meter dibangun dengan biaya Rp10 miliar hingga Rp 20 miliar per km.

Sementara itu, orang-orang di timur ingin membeli beras, minyak goring, semen, dengan harga sama seperti di Jawa saja, diprotes. Apalah artinya anggaran sekitar Rp 1,5 triliun per tahun unutk menyubsidi angkutan kapal ternak, angkutan barang Tol Laut, angkutan laut perintis (termasuk biaya docking), dan penyelenggaraan kapal rede, dibandingkan dengan subsidi KRL dan biaya pembangunan dan perbaikan jalan di Jawa.

Kawasan timur memang tidak berkontribusi sebesar kawasan barat terhadap perekonomian Indonesia, misalnya dalam hal produk domestic bruto, penerimaan pajak, atau devisa negara. Bagaimanapun juga, kebutuhan dasar masyarakat kawasan timur, seperti pangan, sandang dan papan harus tetap terpenuhi dengan harga yang setara dengan nilai yang ditebus masyarakat di kawasan barat. Masyarakat di kepulauan juga harus mendapatkan barang pokok dan barang penting dari Jawa dengan harga yang sama. Mereka punya hak yang sama.

Disinilah keadilan komutatif berlaku tanpa meperhitungakan ‘jasa’ suatu daerah. Bahwa penyelenggaraan Tol Laut menyimpan kekurangan di sana-sini, mari dieprbaiki. Mari penajamkan pengawasan distribusi barang yang dibawa Tol Laut di daerah agar cita-cita ‘satu harga’ bisa dicapai.

Sumber : Bisnis Jakarta (Selasa, 23 Juli 2019)